Radio merupakan salah satu media yang dari segi umur boleh disebut tua, atau sudah berumur sangat panjang dan digolongkan ke kelompok media tradisional seperti halnya Koran, majalah dan televise aerial.
Menurut sejarah perkembangan media, radio diakui sangat berperan pada era perang dunia I dan II sebagai media propaganda oleh Negara-negara yang sedang berperang, termasuk menaikkan moral para pejuang yang sedang bertempur di lapangan. Pidato-pidato agetimasi mengudara bertubi-tubi, dan warga seringkali menempelkan telinganya ke perangkat radio untuk mencermati setiap pernyataan pemimpin Negara atau perang.
Di Indonesia, sejarah penggunaan radio juga dinilai meninggalkan banyak romantisme atau pengalaman melankolis yang tidak ternilai, tidak saja di zaman perang atau revolusi, namun juga menginjak di era 80-an.
Radio memang menjadi perangkat yang menyisakan banyak kenangan. Bahkan bentuk fisik radio era klasik cukup diminati pegiat barabg antic atau penggemar setia radio dan disimpan sebagai kenangan. Para pengiklan di masa awal pertumbuhan media massa juga sangat menggandrungi radio dalam membangun pengenalan terhadap brand, mendorong penjualan, hingga mendekatkan brand secara emosional kepad target market. Hampir setiap kota besar dan menengah memiliki stasiun radio yang sangat kuat dan melekat dikalangan warga setempat. Bahkan identik dengan daerah dimana radio tersebut berlokasi dan mengudara.
Posisi radio-radio utama kurang lebih sama dengan Koran-koran utama disetiap kota besar di Indonesia yang juga dikenal memiliki nilai pasar sangat kuat. Jumlah radio yang aktif melayani pendengar di seluruh Indonesia saat ini [2012] diduga lebih dari 500.
Jika radio-radio komunitas diikutkan, maka jumlahnya bias membengkak hingga dua kali lipat. Salah satu perkembangan radio yang terjadi secara vertikal, khususnya dekade terakhir ini, adalah hadirnya radio-radio baru yang dari segi program dan target audiens dikenal sangat tersegmentasi.
Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Makasar, Surabaya dan Medan, sejumlah radio baru hadir dengan format acara atau program dan audiens yang sangat spesifik atau fokus, serta mengusung format atau gaya penyiaran yang lebih atraktif.
Sejumlah radio utama lama yang dikenal kuat dan berkibar hingga era 90-an perlahan-lahan mendapat tantangan dari pendatang baru yang tampil merebut pasar (audiens). Pendatang baru memang sudah tersegmentasi dan terkesan bosan dengan kemapanan yang sudah ada. Bahkan, radio-radio lama pun tidak lagi sekedar tertantang, namun banyak yang mulai surut, baik dari segi jumlah pendengar maupun pendapatan iklan, hiongga sebagian tersungkur dan meninggalkan pasar.
Kelambanan penguasaan terhadap perkembangan pasar hanya akan menyisakan sedikit pangsa pasar bagi pengelola radio lama yang susah untuk berubah. Mereka terkesan takut mengubah identitas stasiun, cara, dan gaya penyiaran lama yang yang sudah tidak sesuai dengan pasar pendengar, pengelolaan audiens serta susunan acara yang monoton. Hal tersebut telah meninggalkan kesan kuno dan tua pada sebagian radio di kota-kota besar di Indonesia.
Demikian pula pola kerja tim penjualan airtime kepada pengiklan yang tidak disertai berbagai strategi baru telah menimbulakan persepsi yang mengental bahwa sejumlah radio lama sudah memasuki masa akhir dan menua.
Pada prinsipnya, menjadi brand yang berumur tua seharusnya tidak menjadi masalah sepanjang rejuvenation atau tranformasi nilai-nilai baru tetap dikembangkan.
Brand-brand hebat berumur tua yang tersebar di berbagai kategori produk seperti otomotif, telekomunikasi, fashion, jasa perjalanan, wisata, hotel dan lain-lain justru mengalami penguatan yangyang seolah tak tergoyahkan saat persaingan pasar begitu ketat. Bahkan ereka malah menjadi brand yang legendaris.
Ketekunan melakukan pembaruan secara terus-menerus dan melampaui tuntutan pasar menjadikan brand tersebut tidak pernah terlihat kuno. Bahkan secara gemilang memimpin pasar dan perburuan konsumen dilakukan konsisten.
Sejumlah stasiun radio yang selama ini dikenal sebagai pemain lama dan bertengger cukup kuat sebagai pemimpin pasar saat ini sedang mengalami penurunan citra.
Pangsa pasar audiens, pendapatan hingga kemapanannya terganggu. Audiens yang pada masa sebelumnya memiliki pilihan beragam, saat ini dimanjakan dengan kehadiran media baru yang sangat agresif. Pengiklan mulai leluasa memilih saluran yang lebih tersegmentasi dan mengalihkan pilihan radio lama yang dikenal sebagai media dengan audiens yang lebih umum.
Keberadaan radio-radio lama yang masih saja tampil dengan gaya lama mulai terdesakdan terpinggirkan. Mereka perlahan-lahan mulai keluar dari arenanpermainan utama. Penyebab utama kemunduran radio lama yang kerap disebut-sebut adalah perlambatan peremajaan di bidang teknologi, tidak tanggap terhadap perubahan demografi, psikografi dan perilaku audiens, teknik berjualan yang monoton, penguasaan data kependengaran yang terbatas, hingga gaya manajemen yang masih konvensional.
Para praktisi dan pengelola radio disarankan tetap melakukan evaluasi kemampuan stasiun radio dari segi reach dan targetability, tingkat efisiensi biaya iklan, frekwensi iklan yang efektif, serta kreatifitas program yang berkembang.
Pelajari terus preferensi pendengar radio yang secara teorimasih tetap tergolong tiga bagian besar musik, berita dan informasi serta mood of moment. Pola kependengaran baru juga dicermati, sebabvariannya tidak terlalu jauh antar audiens.
Artinya, prime daypart masih akan bertengger di jam driving time untuk kota-kota besar, sehingga penguasaan dan penajaman program baru diperkuat pada jam tersebut.
Bangun dan kembangkan kekuatan absolute yang sudah menjadi citra stasiun, tanpa harus melakukan perubahan total dari segi format program serta audiens yang diajak komunikasi.
Kembangkan cara-cara yang lebih strategic dalam hal berjualan, menyajikan data, mengelola audiens, serta mengelola pengiklan dan kekuatan. Siklus radio makin lama makin singkat. Berbenah setiap sat menjadi tuntutan dan mengikat setiap praktisi untuk tetap bekerja keras.
[Seri Komunikasi Bisnis Oleh Indra Jaya Sihombing, Master Trainer Unlimited Media training Jakarta]